Monday, 9 January 2017

Revolusi Mental Menuju Indonesia Hebat


MASALAH BESAR BANGSA INDONESIA

Ketika Nawacita akan diterapkan, bangsa Indonesia memiliki lima masalah besar yang harus dibenahi, kelima masalah itu adalah merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi perekonomian nasional, merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa, kebebasan berpendapat yang kebablasan dan masalah etos kerja dan Budaya yang semakin menurun.
A. Wibawa negara yang merosot
Wibawa negara merosot ketika negara tidak mampu memberikan rasa aman kepada segenap warga negara. Wibawa negara juga merosot ketika negara tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah. Demikian pula wibawa akan merosot ketika negara membiarkan pelanggaran hak asasi manusia terjadi, tak berdaya mengelola konflik sosial, dan lemah dalam penegakan hukum. Negara tidak berwibawa ketika masyarakat semakin tidak percaya kepada institusi publik dan pemimpin tidak kredibel menjadi teladan untuk menjawab harapan publik.
B. Persoalan ekonomi
Sementara itu, lemahnya sendi perekonomian bangsa, terlihat dari tak kunjung terselesaikannya masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antarwilayah, dan kerusakan lingkungan hidup. Ekonomi Indonesia melemah dipicu oleh eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, tetapi memiliki ketergantungan terhadap impor untuk pemenuhan pangan, energi, keuangan, dan teknologi. Negara, belum mampu memanfaatkan kandungan kekayaan alam yang sangat besar, baik berupa fisik maupun non-fisik, bagi kesejahteraan rakyat. Harapan penguatan sendi ekonomi rakyat memudar ketika negara tak kuasa menjamin kesehatan dan kualitas hidup layak bagi setiap warga negara. Kebijakan ekonomi semakin menjadi persoalan, menurut pasangan ini, ketika utang luar negeri terus diambil dan penyediaan pangan tergantung kepada impor. Demikian pula saat negara gagal memperkecil ketimpangan ekonomi dan tak bisa memeratakan pendapatan nasional.
C. Intoleransi dan krisis kepribadian.
Masalah pokok ketiga adalah intoleransi. Persoalan ini, punya kaitan dengan masalah kepribadian bangsa. Politik penyeragaman pada masa lalu dinilai telah mengikis karakter Indonesia dan meminggirkan kebudayaan lokal. Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi.
D. Kebebasan Berpendapat yang kebablasan.
Banyak komentar dan ulasan yang menyatakan Pemerintahan ini gagal, tidak puas akan kinerja, perekonomian jadi sulit, bencana kabut asap tak kunjung selesai dll. Ada komentar dari politikus yang mengatakan Presiden Jokowi kurang pintar atau bahkan ada yang menyarankan Presiden Jokowi mundur karena kurang berhasil dalam menjalankan roda pemerintahan selama 1 tahun ini. Argumen atau dasar yang disampaikan oleh para komentator tersebut sehingga bisa menilai demikian tentunya perlu dipertanyakan. Masyarakat ditengarai masih banyak yang belum mengetahui kinerja Menteri kabinet Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla, hal ini tercermin dari hasil survei lembaga Indo Barometer mengenai keberhasilan dan kegagalan setahun pemerintahan Jokowi-JK. Dalam survei disebutkan sebanyak 16,2 persen responden menjawab tidak tahu atau tidak menjawab ketika ditanya tentang pencapaian kinerja Presiden dan para Menterinya. Adapun hasil survei menunjukkan secara garis besar kinerja menteri kabinet Jokowi-JK belum memuaskan. “Responden yang menjawab tidak puas sebesar 3,9 persen, kurang puas 42,8 persen, cukup puas 36,3 persen, dan paling rendah sangat puas 0,8 persen,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari dalam presentasinya di Century Hotel Park, Jakarta, Kamis, 8 Oktober 2015.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan didalam salah satu majalah online menyatakan gusar dengan pernyataan-pernyataan para pengamat. Menurutnya, sikap mereka yang dengan mudah menilai kinerja pemerintah tak tepat. Terlebih, tak semua komentar mereka benar dan menjadi kritik bagi pemerintah. Seringkali bahkan cuapan para pengamat dilihat Luhut sebagai benih provokasi. Hal tersebut datang utamanya dari pengamat yang pernah menjabat di lembaga pemerintahan. Perlu pengendalian diri untuk tidak berkomentar yang menyulut pandangan miring masyarakat. Pemerintah mengerti betul apa yang sedang dilakukan. Jika pengamat mengeluarkan statemen yang menjelek-jelekkan pemerintah, Luhut berpandangan bahwa hal itu membuat mereka merasa lebih baik dari pemerintah.
Padahal, semua hal yang dilakukan Presiden dan jajaran lembaga dan kementerian sudah terukur dengan baik. Sikap optimis perlu dilakukan para pengamat itu, utamanya menghadapi situasi sulit seperti saat ini.
Jika seorang Menteri Koordinator Politik dan Keamanan sudah menyatakan kegusarannya, berarti ada sesuatu yang sudah agak parah dan sangat mengganggu. Pernyataan-pernyataan dari pengamat yang menjelek-jelekan Pemerintah itu, ada 2 kemungkinan penyebabnya yaitu :

1. Karena pengamat tersebut tidak tau dengan konsep pembangunan yang diusung pemerintah Presiden Jokowi.
2. Karena pengamat tersebut memang sengaja ingin menjelek-jelekan pemerintah.
Kemungkinan besar, karena kurang sosialisasi, jadi pengamat tersebut memandang kinerja pembangunan pemerintah dari segi yang berbeda. Jadi sebaiknya pemerintah mengumpulkan para pengamat yang masih salah pengertian atau yang mempunyai sudut pandang berbeda itu, untuk berdiskusi bersama dan mencari suatu sudut pandang yang sama, sehingga dapat bersama bersinergi mendukung pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat memberikan mandat dan mempercayakan kepada Presiden Jokowi dan wakil Presiden Jusuf Kalla serta para Menterinya, untuk memimpin dan membangun negeri ini selama 5 tahun. Setelah selesai masa pemerintahan 5 tahun, barulah rakyat akan menilai dan berkomentar akan keberhasilan dan kegagalan pemerintahan ini.
Memang benar, didalam demokrasi ada kebebasan untuk menyatakan pendapat, tapi kebebasan untuk menyatakan pendapat yang benar dan sesuai dengan fakta dan etika ketimuran yang ada. Jika pendapat yang disampaikan itu keliru dan apalagi fitnah, itu bukan demokrasi, tapi sudah memasuki ranah hukum pidana. Euforia demokrasi yang kebablasan ini, juga merupakan sebuah PR besar bagi pemerintah Presiden Jokowi, bidang program Revolusi Mental yang harus menyelesaikan kondisi euphoria demokrasi yang kebablasan ini, dan segera mengembalikan jati diri bangsa yang telah lama dilupakan. Untuk permasalahan jati diri bangsa ini, bahkan Presiden Jokowi sendiri, bukan lagi gusar, malah sudah menjadi gelisah melihat kondisi dan fakta tentang mindset jati diri bangsa ini.
Ketua DPD RI, Irman Gusman menilai, bahwa saat ini pemerintah mesti menata ulang kembali sistem demokrasi yang ada. “Kita telah melakukan demokrasi, belum melakukan konsolidasi demokrasi, kita ini agak kebablasan, saya mengikuti betul detail-detailnya, mari kita tata kembali,” kata Irman Gusman usai menutup muktamar Mathla’ul Anwar ke 19, di Pandeglang, Minggu (9/8/2015). Ia menjelaskan, bahwa dalam ajaran Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia menghina seseorang sudah jelas tidak diperbolehkan, namun agar masyarakat dapat membedakan mengkritik dengan menghina yang sulit dibedakan. “Agama kita saja sudah mengatur, sampaikanlah sesuatu dengan baik, dengan cara-cara yang santun, dengan lemah lembut, belum tentu menghina orang itu akan sesuai dengan maksudnya,” jelasnya.
Menurutnya, Islam di Indonesia, sudah berkembang pesat dan luar biasa berkat adanya kesantunan, kesopanan dan menerima perbedaan di masyarakat, sehingga tidak ada perselisihan antar umat beragama.
Peneliti Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Diasma Sandi Swandaru mengatakan Demokrasi yang berkembang di Indonesia selama ini dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat demi kepentingan bangsa dan negara, “Demokrasi yang ada di Indonesia dianggap liberal dan kebablasan. Mekanisme demokrasi di Indonesia dipertanyakan banyak kalangan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya di Yogyakarta, Jumat.
Menurutnya, praktik demokrasi menjadi perdebatan seru di Indonesia karena selama ini demokrasi memang menjadi isu yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang paling baik di antara sistem yang ada. “Jangan lupakan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan dalam sebuah kebijaksanaan. Demokrasi tanpa kebijaksanaan tentu hanya akan mendatangkan bencana,” [2]
E. Etos Budaya dan Kerja Bangsa Indonesia
Semangat dan Etos Kerja serta Budaya Bangsa Jepang patut kita tiru, Semenjak Jepang kalah dalam perang dunia ke-2, ekonomi Jepang kacau balau dan terjadi pengangguran dimana-mana. Setelah itu Jepang bertekad untuk memperbaiki diri sehingga sukses menjadi Negara besar dan makmur seperti sekarang ini, dengan merubah etos kerjanya seperti yang dipaparkan berikut:
1. Prinsip Bushido
Prinsip tentang semangat kerja keras yang diwariskan secara turun temurun. Semangat ini melahirkan proses belajar yang tak kenal lelah. Awalnya semangat ini dipelajari Jepang dari barat. Tapi kini baratlah yang terpukau dan harus belajar dari Jepang.
2. Prinsip Disiplin Samurai
Prinsip yang mengajarkan tidak mudah menyerah. Para samurai akan melakukan harakiri (bunuh diri) dengan menusukkan pedang ke perut jika kalah bertarung. Hal ini memperlihatkan usaha mereka untuk menebus harga diri yang hilang akibat kalah perang. Kini semangat samurai masih tertanam kuat dalam sanubari bangsa Jepang, namun digunakan untuk membangun ekonomi, menjaga harga diri, dan kehormatan bangsa secara teguh. Semangat ini telah menciptakan bangsa Jepang menjadi bangsa yang tak mudah menyerah karena sumber daya alamnya yang minim juga tak menyerah pada berbagai bencana alam, terutama gempa dan tsunami.
3. Konsep Budaya Keishan.Perubahan secara berkesinambungan dalam budaya kerja. Caranya harus selalu kreatif, inovatif, dan produktif. Konsep Keisan menuntut kerajinan, kesungguhan, minat dan keyakinan, hingga akhirnya timbul kemauan untuk selalu belajar dari orang lain.
4. Prinsip Kai Zen.Mendorong bangsa Jepang memiliki komitmen tinggi pada pekerjaan. Setiap pekerjaan perlu dilaksanakan dan diselesaikan sesuai jadwal agar tidak menimbulkan pemborosan. Jika tak mengikuti jadwal, maka penyelesaian pekerjaan akan lambat dan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, perusahaan di Jepang menerapkan peraturan “tepat waktu”. Inilah inti prinsip Kai Zen: optimal biaya dan waktu dalam menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
A. Perusahaan untung besar, saya juga akan untung.
Disiplin dan semangat kerja inilah yang membentuk sikap dan mental kerja yang positif. Disiplin juga menjadikan para pekerja patuh dan loyal pada perusahaan atau tempat mereka bekerja. Mereka mau melakukan apa saja demi keberhasilan perusahaan tempat mereka bekerja, bahkan hebatnya mereka sanggup bekerja lembur tanpa mengharapkan bayaran tambahan. Karena mereka beranggapan jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan kompensasi setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka sudah tertanam keinginan melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Gagal melakukan tugas sama halnya mempermalukan diri sendiri, bahkan harga diri mereka merasa hilang.
B. Malu, kalau pulang lebih cepat.
Mereka yang pulang lebih cepat dianggap sebagai pekerja yang tidak penting dan tidak produktif. Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja. Kecintaan orang Jepang pada pekerjaannya, membuat mereka fokus pada pekerjaannya. Tanpa ada pengawas pun mereka bekerja dengan baik, penuh dedikasi, dan disiplin.
C. Kerja ya kerja, istirahat betul-betul istirahat.
Ketika jam 8 pagi masuk kerja, tak ada lagi obrolan dan canda, mereka langsung bekerja di komputer masing-masing atau sibuk langsung di depan workstation masing-masing. Baru ketika tiba saatnya hiru gohan no jikan (makan siang) mereka hentikan aktivitas masing-masing dan bercanda ria dengan teman-teman sambil menuju shokudo (kantin).
4. BUDAYA INDONESIA.
Bagaimana dengan budaya bangsa Indonesia saat ini ?, ada hal yang mengkuatirkan ditengah masyarakat Indonesia saat ini yaitu tentang budaya malu. Malu tak selamanya baik, tapi juga tak selamanya buruk. Tergantung dari bagaimana kita menempatkannya. Rasa malu bisa timbul dari rendahnya kepercayaan diri seseorang akibat kurangnya kemampuan. Rasa malu bisa juga muncul dari bahwa hal itu tak sesuai dengan norma yang diyakini oleh bangsa kita. Rasa malu yang terlahir dari keyakinan bahwa itu tidak sesuai dengan adat ketimuran, sopan santun, kepribadian luhur bangsa kita. Budaya malu inilah yang mulai hilang di tengah masyarakat kita. Padahal boleh jadi budaya malu jenis inilah yang membuat masyarakat kita dulu terkenal santun dan beradab. Budaya malu dulunya mengakar kuat dalam masyarakat kita. Adat Minangkabau mengatakan “Raso jo pareso”. Artinya, rasa malu orang Minangkabau harus tinggi.
Dari rasa malu, timbul sikap sopan. Kalau orang Minangkabau tidak lagi memiliki rasa malu, maka hilanglah keminangannya. Kita juga mengenal budaya “Siri’ na pacce” yang menjadi salah satu falsafah budaya masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban. Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Siri’ adalah sesuatu yang “tabu” bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan orang lain. Era globalisasi ini, budaya malu mulai hilang di tengah masyarakat kita khususnya kaum penguasa yang tersebar secara luas di lembaga-lembaga kekuasaan negeri ini dari pusat sampai ke tingkat desa. Budaya malu ini mulai hilang. Padahal sejatinya budaya malu ini awal datangnya bencana bagi diri orang yang bersangkutan dan orang lain di sekitarnya. Perilaku baik itu ucapan maupun tindakan mulai tak bisa dikendalikan sehingga keluar dari norma-norma dan adab sopan santun yang selama ini dijunjung bangsa Indonesia.
Para caleg yang setelah terpilih jadi anggota dewan dengan tanpa rasa malu berebut kursi kekuasaan. Mereka menunjukkan perilaku rakusnya dalam tiap korupsi-korupsi, budaya malas rapat, dan sedikitnya empati untuk rakyat. Tontonan anggota dewan yang tak punya malu inilah yang sering dilihat oleh rakyat di layar kaca, menjadi contoh dan cerminan rakyatnya. Banyak pejabat Negara, yang nyata-nyata sudah bersalah dan melanggar berbagai etika, norma, hukum, masih saja “ ngeles” seperti Bajaj untuk membela dirinya. Seseorang yang tidak memiliki rasa malu itu seperti pohon yang tidak memiliki kulit.
Makna kiasnya, seseorang yang tidak memiliki rasa malu sama halnya dia tidak memakai baju, dengan kata lain telanjang. Peradaban mana pun, pasti tidak membenarkan seseorang yang tidak memakai baju berkeliaran di mana-mana. Justru mereka yang memakai baju serba minim, cenderung diidentikkan dengan suku-suku primitif di pedalaman. Jadi, baju adalah simbol peradaban. Tanpa rasa malu maka rusaklah peradaban luhur kita. Inikah yang kita inginkan? Mari kita bersama membudayakan malu di tengah masyarakat kita. Tidak hanya melalui perkataan, tapi juga di setiap perbuatan kita. Kita memiliki tanggung jawab membangun peradaban karena kita tinggal di bumi Indonesia. Oleh karena itu, hal yang juga mengkuawatirkan dari situasi bangsa hari ini adalah menganggap bahwa persoalan bangsa hanyalah semata-mata persoalan ekonomi. Bila ekonomi beres atau bisa diselesaikan, persoalan bangsa yang lain-lain pun akan mengikuti beres.
Begitu banyak waktu dihabiskan untuk mendiskusikan sudut pandang berkaca-mata kuda ini. Begitu banyak tuntutan dan teriakan agar ekonomi diselesaikan dan hanya fokus pada prinsip-prinsip ekonomi saja. Marxisme memahami betul bahwa hakikat dalam persoalan keruwetan dan hiruk-pikuk kemanusiaan dengan berbagai alasan yang dikemukakan adalah memang ekonomi tetapi penyelesaian soal ekonomi tidaklah secara ekonomi semata tetapi juga tanggung jawab moral dan politik. Penyelesaian yang semata ekonomi itulah yang disebut ekonomisme. Perjuangan kaum buruh tidak akan sampai pada tujuan kemanusiaannya yang semakin bermartabat bila hanya menyandarkan pada tuntutan ekonomi semata sebab keputusan mengenai apa yang seharusnya diproduksi dan berapa tinggi upah yang diberikan adalah keputusan politik juga, atau setidaknya, memerlukan pertimbangan-pertimbangan politik dan moral.Penyelesaian semata secara ekonomi adalah hakikat dari pemerintahan Orde Baru yang bersemboyan Ekonomi, Yes! Politik, No! Kebijakan politik Orde Baru untuk pembangunan nasional yang fokus pada ekonomi itu terbukti juga tidak tangguh menghadapi serbuan ekonomi (kapital) global. Tidak sampai setengah abad, ekonomi yang direncanakan dan disusun dengan kehatian-hatian oleh arsitek ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisastro, itu pun rontok dan kini tampak sedang didaur ulang. Mar’ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan dalam Kabinet Pembangunan VI, sahabat Widjojo juga, sebenarnya sudah memperingatkan. Ia menulis untuk mengenang 70 tahun Widjojo: “Jika sebelum tahun 1966 politik dijadikan sebagai panglima, setelah tahun 1966 ekonomi sebagai panglima. Menimba dari pengalaman selama tiga dekade, perlu direnungkan apakah tidak lebih tepat etika dan moral yang dijadikan panglima. “ ( Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro, Moh. Arsjad Anwar, dkk –penyunting, Kompas, 2007; 104).
Dalam sebulan terakhir, ada tiga pejabat ternama yang mengundurkan diri dari jabatannya. Dua orang karena merasa gagal dalam bertugas, satu lagi mundur setelah didesak ramai-ramai karena masalah pelanggaran etika.Pada awal Desember 2015, Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri dari jabatannya. Dia digantikan oleh rekannya Ken Dwijugiasteadi, yang sebelumnya menjabat sebagai Staf Ahli Dirjen Pajak Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak.Sigit mundur sebagai tanggung jawab karena tak mencapai target penerimaan pajak 2015. Target pajak tahun ini mencapai Rp 1.294 triliun. Hingga akhir November realisasi penerimaan pajak baru tercapai sekitar Rp 865 triliun atau kurang Rp 430 triliun dari target Rp 1.294 triliun di 2015. “Pengunduran ini semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab saya yang tidak berhasil memimpin DJP (Ditjen Pajak) dalam mencapai target penerimaan pajak yang dapat ditolelir (di atas 85%),” kata Sigit.”Saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan teman-teman sekalian, mohon maaf bila ada hal-hal yang tidak berkenan selama ini. Semoga Dirjen Pajak yang akan datang akan membawa DJP semakin Jaya, kredibel, akuntabel dan dapat dibanggakan,” katanya.
Peristiwa kedua yang menarik perhatian adalah mundurnya Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono. Dia merasa gagal karena tak mampu mengendalikan kemacetan panjang yang terjadi saat libur Natal lalu. Pengunduran diri Djoko dilakukan mendadak. Saat itu, acara jumpa pers seharusnya tentang sosialisasi larangan truk pengangkut barang masuk ke dalam tol. Namun, di akhir keterangan persnya, Djoko menyatakan mundur sebagai Dirjen Perhubungan Darat. Menhub Ignasius Jonan pun baru tahu setelah ada pemberitaan media. Sejumlah kalangan menilai langkah Sigit dan Djoko mundur adalah sebuah budaya yang langka. Sangat jarang pejabat di Indonesia mundur karena kesadaran sendiri saat gagal bertugas. Sebagian masih ingin bertahan, bahkan ada yang ngotot meski sudah jelas-jelas melakukan pelanggaran berat. Wapres Jusuf Kalla memberikan penghargaan khusus kepada Sigit. Walau kegagalan mencapai target pendapatan pajak juga dipengaruhi faktor dari luar, Sigit tetap memikul beban itu di pundaknya.
5. REVOLUSI MENTAL

Pembangunan nasional yang menyandarkan pada pembangunan ekonomi semata jelas sesat arahnya. Bung Karno pun mewanti-wanti dalam soal ini. Untuk melancarkan pembangunan nasional sebagai bekas bangsa terjajah selain ekonomi secara materi diisi, jiwanya pun perlu dibangkitkan. Semangatnya pun perlu dibangun sehingga menciptakan Manusia Indonesia yang baru. Alasannya: selama masa yang panjang di bawah kuasa kolonial, manusia Indonesia telah direndahkan dan dihinakan bahkan dibikin inferior dihadapan bangsa lain sehingga yakin menganggap dirinya sebagai pribumi yang malas dan bodoh yang perlu dibimbing bangsa lain yang lebih unggul. Jiwa inlander dan rendah diri dalam perasaan takut karena merasa selalu tak bisa inilah yang harus didobrak dan dihancurkan. Inilah revolusi mental: mengubah bangsa Indonesia yang penakut menjadi bangsa yang berani menghadapi kenyataan sebagai bangsa merdeka dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain bahkan dengan bangsa-bangsa yang selama bertahun-tahun telah menjadi tuannya. Kerja perubahan mental ini adalah tugas utama kebudayaan. Perubahan mental yang berakibat pada jiwa merdeka, berpikir demokratis dan ilmiah, giat bekerja, tidak koruptif, patriotik, gotong royong, cinta rakyat dan bangsanya sendiri karena sudah tidak lagi bekerja untuk tuan yang asing, akan menjamin pembangunan nasional dilaksanakan dengan penuh semangat dan solidaritas. Korupsi pun menjauh dalam berbagai kerja pembangunan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi pun tak lagi menjadi mimpi. Bila pun ada kesulitan, akan ditanggung bersama dan dicarikan solusi bersama. Bukankah kehidupan ekonomi yang menjanjikan keberhasilan untuk kesejahteraan rakyat pun dilandasi oleh nilai dan semangat gotong-royong: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” Dengan demikian revolusi mental pun menjadi landasan dan jaminan bagi pembangunan ekonomi yang berhasil. Revolusi mental merupakan bentuk proses transformasi pembentukan karakter bangsa melalui pembangunan keluarga. Didalam revolusi mental ditegaskan bahwa karakter dan kesejahteraan bangsa dapat tercipta diawali dari lingkup masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga memiliki peran besar dalam proses pembentukan karakter setiap individu yang nantinya merupakan cikal bakal bagian dari bangsa Indonesia. Di sinilah tugas dan peran orangtua sangat mendominasi keberhasilan pembentukan karakter tersebut. Orangtua yang berhasil adalah orangtua yang mampu menciptakan karakter positif yang kuat pada diri anak. Revolusi Mental diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa. Nilai-nilai luhur ini diharapkan dapat menjadi karakter yang menjadi landasan untuk memperkuat kebersamaan dan persatuan, toleransi, tenggang rasa, gotong royong, etos kerja dan menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis.
Keluarga memegang peran sangat penting dalam membangun perubahan mental yang dibutuhkan oleh Indonesia melalui 8 (delapan) fungsinya yang dimilikinya yaitu fungsi agama, pendidikan, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial dan budaya, ekonomi, dan lingkungan. Terjadinya penurunan fungsi dan peran keluarga saat ini membuat kita harus bertekad melakukan revitalisasi fungsi-fungsi keluarga yang sekaligus sebagai upaya implementasi gerakan revolusi mental. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani terus menyuarakan pentingnya revolusi mental. Menurutnya, salah satu institusi yang punya peran penting untuk mensukseskan revolusi mental adalah lembaga pendidikan. Berbicara pada forum ilmiah dan seminar internasional di Fakultas Ilmu Pendidikan-Jurusan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo, Rabu (9/9), Puan mengatakan, Indonesia bisa melakukan lompatan dalam pembanguna manusia melalui revolusi mental. Syaratnya adalah keberadaan tenaga-tenaga pendidik dengan kualitas terbaik untuk membentuk karakter. “Banyak pengalaman di negara lain dengan memajukan pendidikan karakter bangsa, maka bangsa tersebut akan menjadi lebih maju dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Itulah sebabnya kita harus memperkuat pembangunan karakter bangsa,” katanya sebagaimana dikutip dari siaran pers Kemenko PMK. Ia menambahkan, pemerintahan Joko Widodo menyuarakan revolusi mental demi perbaikan karakter bangsa. Ia menegaskan, kunci keberhasilan revolusi mental sebagai gerakan bersama adalah pendidikan.

0 komentar:

Post a Comment